HUKUM DAN ETIKA DALAM JAMINAN PELAYANAN KESEHATAN
MASYARAKAT
OLEH
:
Munajat
Afiat
YAYASAN ABDI KALIMANTAN
AKADEMI KEPERAWATAN PANDAN HARUM
BANJARMASIN
2011
HUKUM DAN ETIKA DALAM JAMINAN PELAYANAN KESEHATAN
MASYARAKAT
Pendahuluan
Pembangunan
kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan
kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat
kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat
digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat
miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu
penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan
kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin
berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup
(Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI
2002-2003).
Banyak faktor yang
menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait
dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan
perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola
pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan
kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit
masyarakat untuk melakukan akses ke palayanan kesehatan.
Selama ini dari
aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam tataran
Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya, tetapi sejak Amandemen UUD
1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H Undang–Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
sertaberhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945 perubahan ke tiga Pasal 34 ayat
(3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum
yang layak.
Untuk memenuhi dan
mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai
amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan
intervensi dari Pemerintah.
Jaminan Kesehatan Masyarakat
Berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, krisis moneter yang terjadi sekitar
tahun 1997 telah memberikan andil meningkatkan biaya kesehatan berlipat ganda,
sehingga menekan akses penduduk, terutama penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan. Hambatan utama pelayanan kesehatan masyarakat miskin adalah masalah
pembiayaan kesehatan dan transportasi. Banyak faktor yang menyebabkan
ketimpangan pelayanan kesehatan yang mendorong peningkatan biaya kesehatan,
diantaranya perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan
kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket, dan subsidi pemerintah untuk semua lini pelayanan,
disamping inflasi di bidang kesehatan yang melebihi sektor lain.
Untuk menjamin akses
penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 Pemerintah
melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai
dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998 –
2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan
Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004.
Program-program tersebut diatas berbasis pada ‘provider’ kesehatan (supply oriented), dimana dana
disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas
dan Rumah Sakit) berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan
(PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya
defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas,
juga menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus berperan sebagai ‘Payer’ sekaligus ‘Provider’.
Dengan di
Undangkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional merupakan perubahan yang mendasar bagi perasuransian di Indonesia
khusunya Asuransi Sosial dimana salah satu program jaminan sosial adalah
jaminan kesehatan. Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004
dinayatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan agar peserta
memperolah manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan dasar, hal ini merupakan salah satu bentuk atau cara
agar masyarakat dapat dengan mudah melakukan akses ke fasilitas kesehatan atau
mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun demikian undang-Undang tersebut belum
dapat di implementasikan mengingat aturan pelaksanaan berupa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sampai dengan saat ini
belum satupun diundangkan kecuali Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan
Jaminan Sosial Nasional. Belum dapat diimplementasikannya Undang– Undang Nomor
40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional semakin membuat kelompok
masyarakat tertentu yaitu masyarakat miskin dan tidak mampu sulit untuk
mendapatkan pelayanan.
Sejak awal agenda
100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu telah berupaya untuk
mengatasi hambatan dan kendala terkait dengan pelayanan kesehatan khusunya
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yaitu
kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini
diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes
(Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT
Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi
masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan nama Asuransi Kesehatan
Masyarakat Miskin (ASKESKIN). PT Askes (Persero) dalam pengelolaan Asuransi
Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) didasarkan pada Undang-Undang.
Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan
mana program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada
prinsip-prinsip asuransi sosial:
Dana amanat dan
nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan
masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.
Menyeluruh
(komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan
rasional.
Pelayanan
Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
Transparan dan
akuntabel.
Pada semester I tahun 2005, penyelenggaraan
jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dikelola sepenuhnya oleh
PT Askes (Persero) meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan
jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS dengan sasaran sejumlah
36.146.700 jiwa sesuai data BPS tahun 2004. Dalam perjalanannya pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin di semester I tahun 2005, ditemukan
permasalahan yang utama yaitu perbedaan data jumlah masyarakat miskin BPS
dengan data jumlah masyarakat miskin di setiap daerah disertai beberapa
permasalahan lainnya antara lain: program belum tersosialisasi dengan baik,
penyebaran kartu peserta belum merata, keterbatasan sumber daya manusia PT
Askes (Persero) di lapangan, minimnya biaya operasional dan manajemen di
Puskesmas, kurang aktifnya Posyandu dan lain-lain.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pada
semester II tahun 2005, mekanisme penyelenggaraan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat miskin diubah. Untuk pembiayaan Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya
disalurkan langsung ke Puskemas melalui bank BRI. PT Askes (Persero) hanya
mengelola pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat miskin di Rumah Sakit
(RS). Disamping itu sasaran program disesuaikan menjadi 60.000.000 jiwa.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan
kesehatan di masa lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang
efektif dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang
berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak
yaitu Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan), Pemerintah Daerah,
Pengelola Jaminan Kesehatan (PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak
memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu mewujudkan
pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang terkendali. Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di
masa lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien
masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi
sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah
Pusat (Departemen Kesehatan), Pemerintah Daerah, Pengelola Jaminan
Kesehatan (PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu
Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi
yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu mewujudkan pelayanan kesehatan dengan
biaya dan mutu yang terkendali.
Berlandaskan pada upaya pengembangan sistem
jaminan tersebut pada tahun 2006, penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin yang meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan
jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di Rumah Sakit dikelola
sepenuhnya melalui mekanisme asuransi sosial oleh PT Askes (Persero).
Dengan pertimbangan pengendalian biaya
pelayanan kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta
mengingat keterbatasan pendanaan, dilakukan perubahan pengelolaan program
Askeskin pada tahun 2008, dengan memisahkan fungsi pengelolaan dengan
fungsi pembayaraan dengan didukung penempatan tenaga verifikator di setiap
Rumah Sakit. Selain itu mulai di berlakukannya Tarif Paket Pelayanan Kesehatan
bagi Masyarakat Miskin di Rumah Sakit dengan nama program berubah menjadi
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Peserta Jamkesmas telah dibagi dalam bentuk Kuota
disetiap Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006.
kuota tersebut menimbulkan persoalan mengingat masih banyak masyarakat miskin
di Kabupaten/Kota yang tidak masuk/menjadi peserta Jamkesmas sementara
kebijakan Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar Kuota yang ditetapkan
maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Program ini telah berjalan memasuki tahun ke–5
(lima) dan telah banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan
yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh
masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan pemerintah telah
meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun pendanaannya.
Pelaksanaan Jamkesmas 2009 merupakan kelanjutan pelaksanaan Jamkesmas 2008
dengan penyempurnaan dan peningkatan yang mencakup aspek kepesertaan, pelayanan
kesehatan, pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek kepesertaan,
Jamkesmas mencakup 76,4 juta jiwa dengan dilakukan updating peserta Jamkesmas
di Kabupaten/Kota, optimalisasi data masyarakat miskin, termasuk gelandangan,
pengemis, anak terlantar dan masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan
peran pemerintah daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar
kuota. Dalam program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yaitu
melaksanakan tugas dalam manajemen kepesertaan Jamkesmas, Dilakukan peningkatan
pelayanan kesehatan dan penerapan sistem Indonesian Diagnosis Related Group
(INA–DRG) dalam upaya kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan sejak 1 Januari 2009.
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang
miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4
juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang
dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri
Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah
ditetapkan nomor, nama dan alamatnya melalui SK Bupati/Walikota tentang
penetapan peserta Jamkesmas serta gelandangan, pengemis, anak terlantar,
masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis,
penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi
peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang
tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model
Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan agar semua masyarakat miskin terlindungi
jaminan kesehatan dan dimasa yang akan datang dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini
masyarakat yang sudah ada jaminan kesehatan baru
mencapai 50,8% dari kurang labih 230 juta jiwa penduduk, hal tersebut dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut:
KONDISI PENCAPAIAN TARGET JAMINAN KESEHATAN
SAMPAI TAHUN 2009
Jenis Jaminan
|
Jumlah (Juta)
|
Askes Sosial (PNS)
|
14,9
|
Askes Komersial
|
2,2
|
Jamsostek
|
3,9
|
ASABRI
|
2,0
|
Asuransi Lain
|
6.6
|
Jamkesmas
|
76,4
|
Jamkesmas Daerah
|
10,8
|
Jumlah / Total
|
116,8
|
Persentase thd Penduduk (tahun 2009 =
230 jt)
|
50.8%
|
|
Pada tahun 2014 Pusat Jaminan dan
Pembiayaan Kesehatan diharapkan sudah terjadiuniversal coverage untuk itu strategi yang
perlu dibangun dalam rangka universal
coverage adalah :
1.Peningkatan cakupan peserta Pemda
(Pemda)
2.Peningkatan cakupan peserta pekerja
formal (formal)
3.Peningkatan cakupan peserta pekerja
informal (in-formal)
4.Peningkatan cakupan peserta individual
(individu)
Peningkatan cakupan dalam rangka universal
coverage tidak mungkin dilakukan dilakukan secara bertahap dengan strategi sebagaimana
dalam tabel sebagai berikut :
Pentahapan universal coverage 2014
Untuk mencapai Universal Coverage pada tahun 2014 maka
perlu ada sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal yang
paling penting dalam mensinegikan jaminan kesehatan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah masalah pembiayaan. Masyarakat miskin dan tidak
mampu yang terdapat dalam Keputusan Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN,
Masyarakat miskin dan tidak mampu diluar kuota ditanggung oleh Pemerintah
Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok Pekerja dibiayai dari institusi
masing-masing ( PNS, ASABRI, JAMSOSTEK) dan kelompok individu (kaya dan sangat
kaya) membiayai diri sendiri dengan asuransi kesehatan komersial atau asuransi
kesehatan lainnya.
Sinergi pusat dan daerah dalam rangka menuju
universal coverage
Sampai saat ini
sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan menyediakan dana
melalui APBD dalam rangka memberikan jamianan kesehatan bagi masyarakatnya
diluar kuota Jamkesmas. Namun pelaksanaanya antara pemerintah daerah yang satu
dengan pemerintah daerah yang lain berbeda-beda, sampai saat ini
sekurang-kurangnya ada dua nama program dalam pelayanan kesehatan di daerah
yaitu Jaminan Kesehatan Daerah dengan Bapel dan Pelayanan Kesehatan Gratis
untuk semua penduduk.
JAMINAN KESEHATAN DAERAH
Bagi Pemerintah
Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka masyarakat miskin diluar
kuota Jamkesmas pelayanan kesehatannya di tanggung oleh Pemerintah daerah
yang penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus terjawab adalah “
Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola dengan menggunakan
prinsip-prinsip asuransi sosial seperti Jamkesmas dengan nama Jaminan Kesehatan
Daerah (JAMKESDA)”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disampaikan
hal-hal sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa
daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian
maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang
didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan
Keputusan Mahkamah
Konsititusi dalam Judicial Review pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40
tahun 2004 diputuskan bahwa :
Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) tidak bertentangan dengan UUD 1945
selama dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara
Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang berada dipusat.
Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena
materi yang terkandung didalamnya telah tertampung dalam Pasal 52 yang apabila
diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian
hukum.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam potitum namun
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika
dipertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian
hukum.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Pasal 52yang dimohonkan tidak cukup beralasan.
Menyatakan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan
Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan Bidang
Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi
mempunyai kewenangan melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan,
pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi, 2). Bimbingan
dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional ( tugas
perbantuan). Sementara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan
melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan sesuai dengan kondisi lokal, 2).
Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas perbantuan).
Dari tigal hal tersebut diatas maka Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah. Namun demikian agar dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan mengikat maka perlu diatur dengan Peraturan Daerah. Substansi materi pokok yang perlu diatur dalam Peraturan Daerah tersebut adalah :
Peserta dan Kepesertaan :
Dalam Bab ini muatan materi yang
perlu diatur adalah hal-hal sebagai berikut :
Siapa yang akan menjadi peserta dalam
Jamkesda Selatan. Apakah seluruh masyarakat atau hanya masyarakat miskin saja,
bagaimana dengan masyarakat yang selama ini sudah memegang premi atau dijamin
dengan jaminan kesehatan lain, apakah tetap menjadi peserta dalam Jaminan
Kesehatan ini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Jaminan Kesehatan ada Jaminan
Kesehatan bagi PNS, JAMSOSTEK, ASABRI dan Asuransi Komersial Lainnya.
Bagaimana mekanisme pendaftaranya
Apa bukti/tanda bahwa seseorang adalah
sebagai peserta Jamkesda (apakah cukup dengan KTP atau ada bukti khusus)
Apakah perlu dilakukan klasifikasi
terhadap peserta Jaminan Kesehatan ( masyarakat miskin, masyarakat mampu,
masyarakat kaya dengan iur biaya).
Apa saja hak dan kewajiban dari
Peserta
Apakah masyarakat diluar Kabupaten/Kota,
boleh menjadi peserta Jamkesda.
Pembiayaan :
Dalam Bab Pembiayaan
hal –hal yang perludiperhatikan atau yang perlu diatur dalam BAB ini adalah :
Premi akan dibayar oleh siapa ( Apakan
akan dibayar oleh Pemda) atau peserta tetap akan dikenakan iur biaya
Apakah iur biaya akan dipungut pada saat
pelayanan kesehatan atau diawal pada saat menjadi peserta.
Berapa besaran premi, besaran premi akan
menggambarkan manfaat atau pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta
.
Bagaimana tatacara pembayaran kepada PPK
setelah melakukan pelayanan kesehatan terhadap peserta Jamkesda.
Pelayanan :
Hal- Hal yang perlu diatur dalam Bab ini
adalah sebagai berikut :
Apakah semua jenis pelayanan akan
ditanggung oleh jaminan kesehatan ini.
Bagaimana dengan system rujukan
Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) mana
saja yang boleh memberikan pelayanan, apakah hanya Puskesmas dan Rumah Sakit
Pemerintah saja atau semua fasilitas boleh melayani peserta Jamkesda .
Bagaimana dengan peserta yang dirawat di
PPK di luar wilayah Pemerintah Kabupaten/Kota. ( Bagaimana dengan Portabilitas)
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
Daerah (BAPEL) /Pengorganisasian
Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan
Daerah tersebut mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan Jamkesda,
untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bab tentang Badan
Penyelenggaran Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut :
Apa tugas pokok dan
fungsi dari Bapel tersebut.
Apakah Bapel
tersebut merupakan UPTD atau LTD dari Pemeritah Daerah atau suatu Badan yang
independent.
Apakah UPTD atau LTD
tersebut secara bertahap akan menjadi PK-BLU atau PK- BLUD.
Siapa saja yang
boleh duduk dalam Bapel dan bagaimana system penggajiannya.
D.Kesejahteraan diwujudkan melalui
Jamkesmas
Perlunya dibentuk Pemerintah Republik
Indonesia adalah dalam rangka untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman
dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare” (Kesejahteraan), hal tersebut dapat dilihat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia ke IV “Kemudian
dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…. dst.
Salah satu unsur kesejahteraan adalah
kesehatan, sehingga pembentuk Pemerintah Republik Indonesia sudah
menganggap begitu pentingnya masalah kesehatan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang
diselenggarakan Pemerintah Daerah yang tujuannya adalah meningkatkan akses
masyarakat khususnya masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
maka pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah
melaksanakan sebagian dari tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Republik
Indonesia yaitu dalam rangka untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman
dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare”(Kesejahteraan) dimana salah satu unsur kesejahteraan
adalah kesehatan.
0 komentar:
Posting Komentar