Kamis, 19 April 2012

HUKUM DAN ETIKA DALAM JAMINAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT


HUKUM DAN ETIKA DALAM JAMINAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT




OLEH :

 Munajat Afiat


YAYASAN ABDI KALIMANTAN
AKADEMI KEPERAWATAN PANDAN HARUM
BANJARMASIN
2011



HUKUM DAN ETIKA DALAM JAMINAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT

Pendahuluan

Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.  Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah.  Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).

Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke palayanan kesehatan.

Selama ini dari aspek  pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam tataran Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya, tetapi sejak Amandemen UUD 1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sertaberhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945 perubahan ke tiga Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.

Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta  kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.

Jaminan Kesehatan Masyarakat

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, krisis moneter yang terjadi sekitar tahun 1997 telah memberikan andil meningkatkan biaya kesehatan berlipat ganda, sehingga menekan akses penduduk, terutama penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan. Hambatan utama pelayanan kesehatan masyarakat miskin adalah masalah pembiayaan kesehatan dan transportasi. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan pelayanan kesehatan yang mendorong peningkatan biaya kesehatan, diantaranya perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket, dan subsidi pemerintah untuk semua lini pelayanan, disamping inflasi di bidang kesehatan yang melebihi sektor lain.

Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan,  sejak tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998 – 2001,  Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004.  Program-program tersebut diatas berbasis pada ‘provider’ kesehatan (supply oriented), dimana dana disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit) berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas, juga menimbulkan fungsi ganda pada  PPK yang harus berperan sebagai ‘Payer’ sekaligus ‘Provider’.

Dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan perubahan yang mendasar bagi perasuransian di Indonesia khusunya Asuransi Sosial dimana salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan. Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 dinayatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan agar peserta memperolah manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dasar,  hal ini merupakan salah satu bentuk atau cara agar masyarakat dapat dengan mudah melakukan akses ke fasilitas kesehatan atau mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun demikian undang-Undang tersebut belum dapat di implementasikan mengingat aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sampai dengan saat ini belum satupun diundangkan kecuali Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Belum dapat diimplementasikannya Undang– Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional semakin membuat kelompok masyarakat tertentu yaitu masyarakat miskin dan tidak mampu sulit untuk mendapatkan pelayanan.

Sejak awal agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala terkait dengan pelayanan kesehatan khusunya pelayanan kesehatan bagi  masyarakat miskin dan tidak mampu yaitu  kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan nama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN). PT Askes (Persero) dalam pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) didasarkan pada Undang-Undang.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan mana program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada prinsip-prinsip asuransi sosial:
Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.
Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional.
Pelayanan Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
Transparan dan akuntabel.
Pada semester I tahun 2005, penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dikelola sepenuhnya oleh PT Askes (Persero) meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS dengan sasaran sejumlah 36.146.700 jiwa sesuai data BPS tahun 2004. Dalam perjalanannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di semester I tahun 2005, ditemukan permasalahan yang utama yaitu perbedaan data jumlah masyarakat miskin BPS dengan data jumlah masyarakat miskin di setiap daerah disertai beberapa permasalahan lainnya antara lain: program belum tersosialisasi dengan baik, penyebaran kartu peserta belum merata, keterbatasan sumber daya manusia PT Askes (Persero) di lapangan, minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, kurang aktifnya Posyandu dan lain-lain.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pada semester II tahun 2005, mekanisme penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin diubah. Untuk pembiayaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya disalurkan langsung ke Puskemas melalui bank BRI. PT Askes (Persero) hanya mengelola pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat miskin di Rumah Sakit (RS).  Disamping itu sasaran program disesuaikan menjadi 60.000.000 jiwa.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah Pusat  (Departemen Kesehatan), Pemerintah Daerah, Pengelola Jaminan Kesehatan (PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu mewujudkan pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang terkendali. Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah Pusat  (Departemen Kesehatan), Pemerintah Daerah, Pengelola Jaminan Kesehatan (PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu mewujudkan pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang terkendali.
Berlandaskan pada upaya pengembangan sistem jaminan tersebut pada tahun 2006, penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di Rumah Sakit dikelola sepenuhnya melalui mekanisme asuransi sosial oleh PT Askes (Persero).
Dengan pertimbangan pengendalian biaya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat keterbatasan pendanaan, dilakukan perubahan pengelolaan program Askeskin pada tahun 2008, dengan memisahkan  fungsi pengelolaan dengan fungsi pembayaraan dengan didukung penempatan tenaga verifikator di setiap Rumah Sakit. Selain itu mulai di berlakukannya Tarif Paket Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Rumah Sakit dengan nama program berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS).  Peserta Jamkesmas telah dibagi dalam bentuk Kuota disetiap Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006. kuota tersebut menimbulkan persoalan mengingat masih banyak masyarakat miskin di Kabupaten/Kota yang tidak masuk/menjadi peserta Jamkesmas sementara kebijakan Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar Kuota yang ditetapkan maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Program ini telah berjalan memasuki tahun ke–5 (lima) dan telah banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun pendanaannya.  Pelaksanaan Jamkesmas 2009 merupakan kelanjutan pelaksanaan Jamkesmas 2008 dengan penyempurnaan dan peningkatan yang mencakup aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek kepesertaan, Jamkesmas mencakup 76,4 juta jiwa dengan dilakukan updating peserta Jamkesmas di Kabupaten/Kota, optimalisasi data masyarakat miskin, termasuk gelandangan, pengemis, anak terlantar dan masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota. Dalam program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yaitu  melaksanakan tugas dalam manajemen kepesertaan Jamkesmas, Dilakukan peningkatan pelayanan kesehatan dan penerapan sistem Indonesian Diagnosis Related Group (INA–DRG) dalam upaya kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan sejak 1 Januari 2009.
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah ditetapkan nomor, nama dan alamatnya melalui SK Bupati/Walikota tentang penetapan peserta Jamkesmas  serta gelandangan, pengemis, anak terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis, penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan agar semua masyarakat miskin terlindungi jaminan kesehatan dan dimasa yang akan datang dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini masyarakat yang sudah ada jaminan  kesehatan baru mencapai 50,8% dari kurang labih 230 juta jiwa penduduk, hal tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
KONDISI PENCAPAIAN TARGET JAMINAN KESEHATAN
       SAMPAI TAHUN 2009
Jenis Jaminan
Jumlah (Juta)

Askes Sosial (PNS)

14,9

Askes Komersial

2,2

Jamsostek

3,9

ASABRI

2,0

Asuransi Lain

6.6

Jamkesmas

76,4

Jamkesmas Daerah

10,8

Jumlah / Total

116,8

Persentase thd Penduduk (tahun 2009 = 230 jt)

50.8%











Pada tahun 2014 Pusat Jaminan dan Pembiayaan Kesehatan diharapkan sudah terjadiuniversal coverage untuk itu strategi yang perlu dibangun dalam rangka   universal coverage adalah :
1.Peningkatan cakupan peserta Pemda (Pemda)
2.Peningkatan cakupan peserta pekerja formal (formal)
3.Peningkatan cakupan peserta pekerja informal (in-formal)

4.Peningkatan cakupan peserta individual (individu)

Peningkatan cakupan dalam rangka universal coverage tidak mungkin dilakukan dilakukan secara bertahap dengan strategi sebagaimana dalam tabel sebagai berikut :
Pentahapan universal coverage 2014
Untuk mencapai Universal Coverage pada tahun 2014 maka perlu ada sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal yang paling penting dalam mensinegikan jaminan kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah masalah pembiayaan.  Masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdapat dalam Keputusan Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN, Masyarakat miskin dan tidak mampu diluar kuota ditanggung oleh Pemerintah Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok Pekerja dibiayai dari institusi masing-masing ( PNS, ASABRI, JAMSOSTEK) dan kelompok individu (kaya dan sangat kaya) membiayai diri sendiri dengan asuransi kesehatan komersial atau asuransi kesehatan lainnya.
Sinergi pusat dan daerah dalam rangka menuju universal coverage
Sampai saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan menyediakan dana melalui APBD dalam rangka memberikan jamianan kesehatan bagi masyarakatnya diluar kuota Jamkesmas. Namun pelaksanaanya antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain berbeda-beda, sampai saat ini sekurang-kurangnya ada dua nama program dalam pelayanan kesehatan di daerah yaitu Jaminan Kesehatan Daerah dengan Bapel dan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk semua penduduk.

JAMINAN KESEHATAN DAERAH

Bagi Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka  masyarakat miskin diluar kuota Jamkesmas  pelayanan kesehatannya di tanggung oleh Pemerintah daerah yang penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus terjawab adalah “ Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip asuransi sosial seperti Jamkesmas dengan nama Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA)”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan
Keputusan Mahkamah Konsititusi dalam Judicial Review pada  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 diputuskan bahwa :
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang berada dipusat.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena materi yang terkandung didalamnya telah tertampung dalam Pasal 52 yang apabila diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam potitum namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 52yang dimohonkan tidak cukup beralasan.
Menyatakan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan Bidang Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai kewenangan melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi,  2). Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional ( tugas perbantuan). Sementara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan  Kesehatan      sesuai dengan kondisi lokal, 2). Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas perbantuan).

Dari tigal hal tersebut diatas maka Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah. Namun demikian agar dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan mengikat maka perlu diatur dengan Peraturan Daerah. Substansi materi pokok yang perlu diatur dalam Peraturan Daerah tersebut adalah :
Peserta dan Kepesertaan :
Dalam Bab ini muatan materi yang perlu  diatur adalah hal-hal sebagai berikut :
Siapa yang akan menjadi peserta dalam Jamkesda Selatan. Apakah seluruh masyarakat atau hanya masyarakat miskin saja, bagaimana dengan masyarakat yang selama ini sudah memegang premi atau dijamin dengan jaminan kesehatan lain, apakah tetap menjadi peserta dalam Jaminan Kesehatan ini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Jaminan Kesehatan ada Jaminan Kesehatan bagi PNS, JAMSOSTEK, ASABRI dan Asuransi Komersial Lainnya.
Bagaimana mekanisme pendaftaranya
Apa bukti/tanda bahwa seseorang adalah sebagai peserta Jamkesda (apakah cukup dengan KTP atau ada bukti khusus)
Apakah perlu dilakukan klasifikasi terhadap peserta Jaminan Kesehatan ( masyarakat miskin, masyarakat mampu, masyarakat kaya dengan iur biaya).
Apa saja  hak dan kewajiban dari Peserta
Apakah masyarakat diluar Kabupaten/Kota, boleh menjadi peserta Jamkesda.

Pembiayaan :
Dalam Bab Pembiayaan hal –hal yang perludiperhatikan atau yang perlu diatur dalam BAB ini adalah :
Premi akan dibayar oleh siapa ( Apakan akan dibayar oleh Pemda) atau peserta tetap akan dikenakan iur biaya
Apakah iur biaya akan dipungut pada saat pelayanan kesehatan atau diawal pada saat menjadi peserta.
Berapa besaran premi, besaran premi akan menggambarkan manfaat atau pelayanan kesehatan  yang diterima oleh peserta .
Bagaimana tatacara pembayaran kepada PPK setelah melakukan pelayanan kesehatan terhadap peserta Jamkesda.

Pelayanan     :
Hal- Hal yang perlu diatur dalam Bab ini adalah sebagai berikut :
Apakah semua jenis pelayanan akan ditanggung oleh jaminan kesehatan ini.
Bagaimana dengan system rujukan
Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) mana saja yang boleh memberikan pelayanan, apakah hanya Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah saja atau semua fasilitas boleh melayani peserta Jamkesda .
Bagaimana dengan peserta yang dirawat di PPK di luar wilayah Pemerintah Kabupaten/Kota. ( Bagaimana dengan Portabilitas)


Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah  (BAPEL) /Pengorganisasian
Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan Daerah tersebut mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan Jamkesda,  untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bab tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut :
Apa tugas pokok dan fungsi dari Bapel tersebut.
Apakah Bapel tersebut merupakan UPTD atau LTD dari Pemeritah Daerah atau suatu Badan yang independent.
Apakah UPTD atau LTD tersebut secara bertahap akan menjadi PK-BLU atau PK- BLUD.
Siapa saja yang boleh duduk dalam Bapel dan bagaimana system penggajiannya.

D.Kesejahteraan diwujudkan melalui Jamkesmas

Perlunya dibentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah dalam rangka  untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare” (Kesejahteraan), hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia ke IV    “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…. dst.

Salah satu unsur kesejahteraan adalah kesehatan,  sehingga pembentuk Pemerintah Republik Indonesia sudah menganggap begitu pentingnya masalah kesehatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang diselenggarakan Pemerintah Daerah yang tujuannya adalah meningkatkan akses masyarakat khususnya masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, maka pemerintah  baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah melaksanakan sebagian dari tujuan  dibentuknya suatu Pemerintah Republik Indonesia yaitu dalam rangka  untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare”(Kesejahteraan) dimana salah satu unsur kesejahteraan adalah kesehatan.

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates